Cerita Dewasa Setengah Baya
Inilah sebuah cerita dewasa setengah baya. Kisah seks antara tante dan keponakannya sendiri yang terlibat hubungan seks yang sepatutnya tidak terjadi. Simak cerita lengkapnya berikut ini!
Namaku Roby. Saat itu tahun 1982, dan aku baru berumur 14 tahun.
Sebagai anak tunggal yang mulai punya rasa ingin tahu terhadap dirinya
sendiri, dalam usia itu aku mulai sering memperhatikan alat kelaminku
sendiri, memain-mainkannya dan larut dalam kebingungan, untuk apa semua
itu ada. Di rumah, aku lebih sering tidur dengan pembantu rumahku.
Keadaan itu berubah waktu tanteku (adiknya ibuku) yang bernama Lina,
ikut menumpang tinggal dengan orang tuaku. Ia waktu itu berusia belasan
(masih SMA), dan bakat tubuhnya yang sintal mulai terbentuk. Tante Lina
sangat menyayangiku, karena aku adalah cucu pertama di keluarga besar
kami.
Mulai saat itu aku lebih sering tidur sekamar dengan tanteku. Mulai
tumbuh perasaan nyaman tidur bersama orang dekat, dan mulai terbiasa
dengan pelukan dan sentuhan yang hangat diantara kami. Tentu saja
walaupun saat itu aku sudah bisa ereksi, tapi usia segitu belum
memungkinkan aku untuk memahami persoalan seks. Tanteku punya kebiasaan
yang unik, setiap tidur dia menanggalkan pakaiannya, menyisakan bra dan
CD, kemudian membungkus kami berdua dalam selimut yang hangat, dan mulai
memelukku sampai pagi. Kebiasaan ini berlangsung berbulan-bulan.
Suatu malam, karena kegerahan, aku terbangun. Aku terkejut karena
tanteku tidak dalam posisi biasanya yang selalu memelukku dari belakang.
Saat mataku membuka, aku melihat pemandangan baru, yaitu bongkahan
pantat tanteku yang sedang tidur menyamping, terpampang jelas di depan
mataku. Dengan berdebar dan gemetaran, naluriku mulai bertindak. Aku
mendekatkan wajahku, menghirup bau tubuh yang terasa aneh namun
menggairahkan, dan meraba-raba bongkahan pantat tanteku sehati-hati
mungkin. Kebiasaan ini berlangsung terus, dan di hari-hari berikutnya
keberanianku tumbuh perlahan-lahan, untuk melakukan sesuatu yang lebih
dari sekedar itu. Kadangkala aku meraba pantatnya, sembari tanganku yang
lain memain-mainkan penis kecilku. Pernah pula beberapa kali tanganku
mencoba menyusup ke dalam CD-nya, namun belum pernah mencapai hasil yang
memuaskan, karena biasanya tanteku mulai menggeliat. Dan akhirnya semua
kesenangan ini mesti terputus karena setelah genap setahun, tanteku
kembali tinggal bersama orang tuanya untuk melanjutkan ke Perguruan
Tinggi.
Suatu kali di tahun 1985 (usiaku 17 tahun), aku sekeluarga berlibur
ke rumah nenekku, yang terpisah pulau dari rumah tempat aku dan orang
tuaku tinggal. Aku senang sekali berjumpa kembali dengan Tante Lina, dan
masa-masa liburan itu dia sering mengajakku jalan-jalan, membelikanku
mainan dan sebagainya. Suatu siang, sepulang dari bermain-main di
sekitar rumah, aku menemukan rumah dalam keadaan sepi. Semuanya sedang
tidur. Iseng-iseng aku masuk ke kamarnya Tante Lina, dan ternyata dia
sedang tertidur pulas. Saat itu tadinya aku mau bermain kembali dengan
anak-anak tetangga, tapi melihat Tante Lina yang tidur telentang dengan
roknya dalam keadaan tersingkap, membuatku teringat kembali mainanku
beberapa tahun yang lalu.
Aku naik ke pinggiran ranjang, dag-dig-dug, ragu, wajahku memerah,
tapi tidak ada waktu untuk kembali. Telapak tanganku mulai menyusuri
kaki Tante Lina dari bawah, dan dia tetap tertidur. Sambil meneguk ludah
dan susah bernafas, kusadari telapak tanganku sudah berada di pangkal
pahanya. Aku naikkan rok tanteku, dan terpampanglah didepan mataku, CD
berenda yang berwarna krem, dengan latar beberapa helai bulu kemaluan
yang keluar dari orbit, dan cetakan bibir kemaluan yang tebal dan indah,
dalam keadaan yang basah dan hangat. Aku makin susah menelan ludah,
tapi semuanya sudah dalam keadaan tanggung. Kuteruskan aksiku, dengan
tanganku perlahan-lahan mulai masuk ke CD tanteku dari samping.
Tiba-tiba tanteku terbangun seperti kaget, dan sebelum sempat
mengucapkan apa-apa, aku tarik tanganku keluar, dan kabur secepatnya ke
ruang keluarga. Entah kenapa, aku merasa berdosa sekali. Walaupun aku
belum tahu apa-apa soal itu, aku merasa bersalah, dan takut tanteku
marah. Ternyata tanteku tidak marah, ia menghampiriku, dan mengajakku
tidur bareng. Akhirnya akupun mengikutinya tidur, dan tidak melakukan
apapun.
Keesokan harinya adalah salah satu hari yang bersejarah bagiku. Saat
terbangun, orang tuaku bersama kakek nenekku sedang mengunjungi kerabat
yang lain. Tinggal aku dan Tante Lina ku saja dirumah. Belum sempat aku
turun ke kamar mandi, aku melihat tanteku melewati kamarku, hanya dengan
lilitan handuk di tubuhnya. Aku pun segera beranjak, dan mencoba
menengok ke kamarnya yang pintunya tidak ditutup. Ya ampun, di kamarnya,
aku melihat tanteku yang membelakangiku, mulai menurunkan handuk dari
tubuhnya. Pantatnya yang besar itu bergoyang-goyang sementara dia
memilih-milih pakaiannya dalam lemari. Pandanganku nanar, tidak tahu
harus berbuat apa. Dan ketika dia berbalik, aku yang hanya berjarak
beberapa meter darinya, dengan terpaksa harus menerima pemandangan bugil
tubuh depannya yang montok itu. Aku tidak tahu tanteku sedang apa, dan
mengapa ia tidak bereaksi dengan kehadiranku. Mungkin ia tidak melihatku
yang sedang duduk dari luar kamarnya, atau mungkin ia berpura-pura
tidak melihatku, entah dengan motif apa. Tampak bagiku ia seperti sedang
memessage dirinya sendiri, melakukan gerakan-gerakan relaksasi, dengan
payudara bulat kencang besarnya tengah berayun-ayun, perutnya yang
meliuk-liuk, dan.. ya tuhan! Aku tidak tahan melihat kakinya yang
perlahan meregang-regang, dengan belahan vaginanya yang indah itu
terbuka seperti mengajakku untuk bermain. Aku langsung pergi ke kamarku,
merasa pusing dengan kejadian barusan, merasa terundang untuk melakukan
sesuatu, tapi aku tidak tahu apa dan harus bagaimana.
Sepulang dari liburan, dan selama masa pertumbuhanku berikutnya,
bayangan tentang tanteku sulit sekali disingkirkan dari kepala, dan
berperan banyak waktu fantasi seks-ku mulai terbentuk. Ketika mulai
mengenal masturbasi dan ejakulasi, aku selalu membayangkan belahan
vaginanya yang menerima semburan spermaku. Bebeberapa tahun kemudian ia
menikah dengan seorang polisi, mengikuti suaminya pindah ke kota lain,
dan dari kabar yang aku terima ia sekarang menjadi ibu rumah tangga yang
baik. Aku pun mulai melupakannya, sampai kemudian, suatu kesempatan
yang tidak terduga tiba-tiba datang.
Tahun 1993. Saat itu aku berumur 25, tumbuh menjadi seorang remaja
yang berlibido tinggi, masturbasi tiap hari, rajin mengkonsumsi segala
material porno yang sedang in saat itu, seperti enny arrow, playboy,
video blue film dan lain-lain. Dan aku sudah tahu, apa yang harus aku
lakukan apabila ada kontak fisik dengan seorang wanita, walaupun tentu
saja, belum pernah melakukannya. Saat itu, tanteku yang bungsu, Lia,
yang berumur sebaya denganku, mengajakku untuk berlibur ke rumah
kakaknya, Lina. Tentu saja aku pun mau, dan kami berdua berangkat
kesana.
Saat itu, Tante Lina yang sebenarnya masih muda (sekitar 26-27 an)
semakin montok saja, dan belum dikaruniai anak. Suaminya yang polisi,
sedang mendapat piket malam. Otomatis kami bertiga merasa bebas tidur
dimana saja. Malam itu, sehabis nonton acara TV, aku yang tadinya
berniat untuk tidur dengan Tante Lina, tapi karena kecapean aku tertidur
di kasur yang digelar darurat di ruang tengah. Jam 3 pagi aku
terbangun, dan terkejut karena tiba-tiba Tante Lina tertidur di
sebelahku, sementara adeknya, Tante Lia, entah tidur dimana. Semua
kenangan bersamanya terbawa kembali saat itu ke ingatanku, dan aku
merasa, inilah saatnya aku merespon apa-apa yang pernah dia tunjukkan
padaku.
Tanteku tidur menyamping, daster yang ia kenakan tampak membuatnya
semakin terlihat semakin seksi saja. Saat itu keberanianku sudah penuh,
dan aku yakin, apa-apa yang pernah dia tunjukkan padaku adalah cermin
dari keadaan dirinya yang berlibido tinggi. Aku langsung melucuti
pakaianku sendiri sampai bugil, kemudian perlahan-lahan mengangkat
dasternya sampai di perutnya. Aku mulai mengocok-ngocokkan penisku yang
sudah tegang, dan tanganku yang lain meraba-raba kemaluannya dari balik
CD-nya. Kemudian kusingkapkan CD-nya, dan pemandangan bibir vaginanya
membuatku membuatku makin bernafsu. Aku naikkan lagi dasternya sampai
diatas dadanya, kemudian aku angkat bra-nya, dan buah dadanya pun
tersembul manis. Tiba-tiba Tante Lina mendesah pelan, mengubah posisinya
menjadi telentang, dan terlihat pulas kembali. Aku sudah tidak peduli
apakah ia akan bangun atau tidak. Apabila ia terbangun, aku sudah siap
dengan seribu penjelasan. Kemudian aku lucuti CD-nya, dan inilah
akhirnya buah penantianku.. Tanteku yang bugil, telentang, siap
disetubuhi.
Kudekatkan wajahku pada vagina Tante Lina, baunya yang menggoda
membuatku langsung saja menjilati bibir kemaluannya, sambil kedua
tanganku menyorong keatas, memainkan puting buah dadanya. Aku terus
melakukan itu, dan lama kelamaan, pinggul tanteku mulai bergoyang,
mengimbangi gerakan lidahku di seputar klitorisnya. Aku mulai
memindahkan nafasku lewat mulut, dan mencoba mendorong lidahku
berkali-kali ke lubang vaginanya. Makin kesetanan tanteku bergoyang, dan
tangannya seketika menjambak rambutku, menghimpitkan selangkangannya ke
wajahku, di saat bersamaan dengan lidahku yang terus menerobos
lubangnya, merasakan dindingnya yang hangat dan gurih. Peduli setan
dengan nafasku yang sesak, aku hanya ingin melakukan itu sampai aku gila
sendiri. Tiba-tiba, tanteku menggelinjang, pantatnya terangkat keatas,
meregang-regang, dan akhirnya terkulai kembali kekasur. Satu tangannya
menutupi vaginanya, namun antara jadi telunjuk dan jari tengah terbuka,
menyisakan lubang itu untuk kumasuki. Aku sudah mafhum, tanteku
sebenarnya telah terbangun tapi masih berpura-pura tidur dan tidak ingin
membuka percakapan.
Aku langsung berinisiatif, kudekatkan penisku pada vaginanya, dan
mencoba untuk memasukkannya. Namun tiba-tiba, tangan tanteku memegang
erat penisku, dan kemudian ia mendorong tubuh telentangnya ke depan,
sampai mulutnya berada di depan penisku. Aku jengkel sekali, ia
melakukan semua itu dengan terpejam. Namun karena nafsuku sudah di
ubun-ubun, kuikuti saja kemauannya.
Tiba-tiba tanteku mendekatkan mulutnya ke penisku, dan mulai mengisap
kepala kemaluanku perlahan-lahan. Nikmat yang kurasakan membuatku
secara naluriah mendorong kemaluanku ke dalam mulutnya, dan iapun mulai
mengulum batang penisku, dengan bantuan tangannya mengocok dengan cepat.
Ah, nikmat sekali rasanya saat itu, melihat mulut dan tangan tanteku
sendiri yang sedang sibuk membuat keponakannya senang. Tak lama
kemudian, saat aku mulai mengejang, ia menarik mulutnya dari penisku,
namun tetap menganga, dan tumpahan spermaku pun membanjiri rongga
mulutnya. Akupun terkulai dengan lemas, dan tanpa canggung lagi mulai
berbaring sambil memeluknya, teringat kenangan dengannya semasa aku
kecil. Malam itu aku tertidur dengan harapan bahwa hari-hari berikutnya
penuh dengan pengejaran dan pemuasan kenikmatan tubuh.
Namun hal itu tidak pernah terjadi lagi, karena di hari-hari
berikutnya ada saja gangguan. Kadang-kadang, Lia, tanteku yang bungsu,
begadang semalaman. Hari yang lain terkadang Tante Lina tidur duluan.
Sampai akhirnya liburan habis, aku pulang dengan kenangan yang
memabukkan libidoku, sekaligus sangat penasaran untuk bisa benar-benar
menyetubuhi Tante Lina.
Tahun berikutnya aku masuk SMA, dan karena kecapean, aku terpaksa di
opname karena sakit thypus. Seminggu dirawat di rumah sakit tanpa
melakukan apa-apa membuatku jenuh tidak kepalang. Beberapa kali aku
minta pulang, namun dokter belum mengizinkanku, pedahal rasanya aku
sudah cukup sehat. Keluargaku giliran menjagaku di rumah sakit, sampai
akhirnya, Tante Lina datang, dan mengatakan bahwa esok hari ia akan
menjagaku seharian. Aku senang sekali dengan kedatangannya, dan seribu
rencana pun mulai kususun sebagai pengisi kebosanan. Ruang rawatku yang
luas, memiliki 2 ranjang dan kamar mandi didalam. Aku mulai merasakan
keintiman tertentu saat melihat Tante Lina mulai tidur di ranjang
sebelah.
Paginya, aku terbangun jam 6. Saat itu suster mulai datang, memeriksa
jarum infus, menyiapkan makan dan melakukan tetek bengek lainnya yang
tidak terlalu kuperhatikan. Suster mulai memandikan aku, mengelap
tubuhku dengan air hangat dari kepala ke kaki. Saat itu Tante Lina
sedang di kamar mandi. Di pagi yang dingin itu penisku mulai tegang, dan
saat sang suster sedang mengelap kakiku, tubuhnya yang sedikit
membungkuk membuatku tidak tahan melihat belahan dadanya yang membusung.
pelan-pelan kubuka CD-ku, dan kemaluanku yang saat itu berukuran 15 cm
mulai meronta, kukeluarkan dari kandangnya lalu kukocok pelan-pelan.
Tatkala suster melihatku, terlihat ia sedikit kaget, namun cepat
menguasai dirinya.
“Nakal yah..”, serunya sambil tersenyum manis.
“Bersihin dong Mbak”, sahutku sambil menunjuk kemaluanku. Terlihat
sekilah ia melihat ke arah kamar mandi, mungkin sudah tahu ada yang
sedang menjagaku, dan ia pun hanya tersenyum kembali.
“Besok lagi deh”, jawabnya sambil kembali menyelimutiku, kemudian
mendekatkan nampan makanan, dan berlalu dari kamarku. Wah, inilah
saatnya. Aku tinggal berdua dengan Tante Lina, dan rencanaku pun mulai
mengalir. Aku kembali mengocok-ngocokkan penisku agar selalu dalam
keadaan tegang, dan aku harus tetap terlihat belum terlalu sehat untuk
bisa ke WC sendiri.
Tanteku keluar dari kamar mandi, saat itu aku mulai bisa
mendeskripsikan dirinya. Berkulit kuning langsat, rambut keriting dengan
tinggi sekitar 165 cm dan berat 60-an membuatku sangat mabuk, karena
aku suka dengan perempuan yang montok. Sementara saat itu tinggiku 170
cm dengan berat 60 kg. Ia hanya mengenakan t-shirt dan rok pendek.
“Bagaimana Bayu, agak baikan?”, tanyanya sambil mengeringkan rambutnya.
“Iya Tante, apalagi Tante yang jaga, pasti besok bisa pulang, he..
he.. Tapi masih agak pusing nih kalau berdiri”, jawabku beralasan.
“Ya sudah tiduran saja enggak apa-apa, kalau ada apa-apa biar sama Tante saja”, sahutnya sambil mulai menyuapiku.
“Tante, saya jenuh nih. Beliin majalah atau koran dong”, kataku.
“Iya nanti Tante beliin, tapi sekarang makan dulu yah”, jawabnya singkat.
Selesai menyuapiku ia langsung keluar untuk membelikanku koran.
Dengan tangan kiri terpancang pada tiang infus, aku cepat-cepat membuka
piyamaku dengan tangan kanan, melucuti seluruh pakaianku, membuang
pakaianku kebawah ranjang, lalu menyelimuti kembali tubuh bugilku. Aku
terus mengocok penisku agar tetap tegang.
Sekembalinya dari luar, Tanteku memberiku beberapa koran dan majalah,
dan iapun mulai membaca salah satunya. Sambil membaca koran aku mulai
dag-dig-dug. Beberapa kali aku berpikir ulang, sampai akhirnya tekadku
sudah bulat.
“Tante, pengen pipis nih”, kataku.
“Oh, mau ke WC apa di pispot?” sahutnya.
“Di pispot aja deh, belum kuat berdiri nih”, jawabku berbohong.
Tanteku mulai mengambil pispot, dan perlahan-lahan membuka selimutku.
Terasa berdesir dan ada gairah yang sulit diungkapkan, waktu tubuh
bugilku beserta penisku yang mengacung itu mulai terbuka untuk kedua
bola mata Tanteku.
“Lho, pakaianmu ke mana Bayu?”, kata Tanteku menyembunyikan keterkejutannya, sambil melihat batang penisku.
“Nggak tahu Tante, tadi abis dimandiin suster nggak dipakein lagi. Di
bawah ranjang kali”, sahutku ngasal. Tanteku mulai mendekatkan pispot
ke sisi ranjang, dan aku mulai memiringkan tubuhku, kemudian Tanteku
memegang penisku, dan mengarahkan ke pispot. Tampak ia agak khawatir
dengan sesuatu.
“Kapan suster ke sini lagi?”, tanyanya.
“Masih lama Tante, paling entar, pas makan siang. Emang kenapa?”, tanyaku balik.
“Nggak apa-apa sih.. Eh, udah punya cewek belum Bayu?”, sambil tetap memegangi penisku yang belum pipis juga.
“Lagi kosong Tante. Belum pernah lagi, semenjak waktu liburan di
rumah Tante”, sahutku sambil memancing tanggapan dia atas kejadian yang
pernah kami lakukan. Tampak dia terpaku, mungkin tidak begitu suka
dengan pendekatan seksku seperti itu, namun tetap memegangi batang
penisku, yang terasa hangat di genggaman tangannya.
“Mana nih pipisnya?”, katanya sambil tersenyum.
“Enggak tahu Tante, tadi pengen pipis. Mungkin pengen pipis seperti
waktu dirumah Tante”, kataku blak-blakan, sudah enggak peduli apa-apa
lagi. Tiba-tiba ia mendesah, melepaskan tangannya dari penisku,
menyimpan pispot, mulai menutupi tirai dan mengunci kamar kami. Aku agak
terkejut karena tiba-tiba, keintiman masa lalu itu datang kembali
dengan cara yang lebih vulgar. Sambil menangis, ia membuka seluruh
pakaiannya, berjongkok di sisi ranjang, dan dengan buas mulai mengulumi
testisku.
“Oh Tante, nikmat banget.. terus Tante..”, kataku mulai mengerang.
“Maafin Tante waktu itu ya Bayu.. Tante khilaf”, serunya sambil
tersedu-sedu namun terus memainkan penisku. Aku tidak mengerti apa yang
dia maksud, aku tidak tahu kehidupan rumah tangganya, yang ada bagiku
saat itu hanyalah pertalian emosi dan nafsu yang ada antara aku dan dia,
sejak aku kecil. Dan aku akan menikmatinya, tanpa alasan apapun. Aku
hanya ingin menikmatinya. Setelah puas dengan penisku, ia mulai naik ke
ranjang. Menciumi dan menjilati seluruh tubuhku. Nikmat yang sukar
kulukiskan, sapuan lidahnya meliuk-liuk ganas di telingaku, diwajahku.
Turun ke puting dadaku, perutku, dan kembali ke selangkanganku. Tanteku
bagai hewan seks yang lapar.
“Naikin pantatnya Bayu, Tante mau jilatin lubang pantat kamu”, seronoknya.
Aku mulai menaikkan pantatku, dan lidahnya tiba-tiba bersarang di
sana. Geli, malu, nikmat semuanya campur jadi satu. Ia memutar-mutarkan
lidahnya tepat dilubang pantatku dan menyodok lubangnya dengan
perlahan-lahan tapi mantap. Tiba-tiba ia membalikkan wajahnya, dan
begitu saja menyuguhkan bongkahan pantatnya diatas tubuhku yang
telentang, sambil terus menjilati penis dan testisku. Belahan vagina dan
lubang pantatnya tampak membuka seiring regangan kakinya. Aku sudah
kehilangan rasa jijikku saat itu, kedua lubang nikmatnya yang tampak
sedang meledekku langsung saja kujilati tanpa ampun. Dan ia mulai
menceracau dan mencaci tidak keruan.
“Oh Bayu, penis..Bayu, aduh, vaginaku jadi enak. Enak enggak sayang?
Hanget yah? Jilat yang, terus jilatin yah.. euuh”. Aku enggak tahan
mendengar omongan joroknya. Ia terus menyodokkan pantatnya kebelakang
sambil lidah dan tangannya mengocok penisku dengan cepat. Aku enggak
tahan.
“Enak enggak sayang? Harus cepet goyangnya kalau pengen enak yang. Uhh, vagina Tante suka lidah kamu Bayu.. hangat, oughh..”.
“Pelan-pelan dong Tante, nanti saya enggak kuat nih”, aku mencoba bertahan.
“Iya yang, muncratin sini penisnya di mulut Tante yang.. sini
muntahin”, sahutnya sambil mengerang dan mengocok penisku dengan gila.
“Arrgghh.. ampun Tante, aduh enak.. aduuh!”
“Iya sayang, penis enak, nanti Tante kasih vagina yah”. Seiring
dengan ucapannya pada kata vagina, aku enggak tahan lagi, muntahan
spermaku memancur keluar ke atas. Tante gilaku mulai mengulumi penisku
yang sudah belepotan dengan sperma. Aku terkulai, dan ia membalikkan
tubuhnya, memelukku erat. Sebagian muntahan sperma susulan terus ia
perah dengan tangannya dari penisku. Ia mulai beranjak ke kamar mandi,
dan aku tertidur ayam sebentar.
Terbangun beberapa menit kemudian, terpampang kembali kenangan masa
silam. Tanteku berdiri membelakangiku di depan kamar mandi, dengan satu
kakinya berpijak diatas wastafel, menunggingkan pantatnya, dan kedua
jari tangannya maju mundur keluar masuk di lubang vaginanya. Penisku
mulai tegang kembali, dan aku mulai masturbasi sambil menikmati bokong
indah Tanteku. Tanteku kumat lagi, dan mulai memutar mutarkan pantatnya.
“Tante, ngentot yuk”, rayuku. Sambil tersenyum nakal dan mata yang menantang, ia terus memutar
mutarkan pantatnya. Aku enggak tahan. Aku langsung beranjak dari ranjang, berdiri sambil tangan kiriku menyeret tiang infus yang beroda, dan mendekati Tanteku dari belakang. Ia terkejut melihat aku bisa berdiri, tapi kemudian dengan bahasa tubuh aku yakinkan dia agar tetap disitu. Tangannya mulai ia lepas dari lubang vaginanya, dan kemudian ia angkat lagi pantatnya dengan bantuan kedua telapak tangannya yang membukakan lubang vaginanya.
mutarkan pantatnya. Aku enggak tahan. Aku langsung beranjak dari ranjang, berdiri sambil tangan kiriku menyeret tiang infus yang beroda, dan mendekati Tanteku dari belakang. Ia terkejut melihat aku bisa berdiri, tapi kemudian dengan bahasa tubuh aku yakinkan dia agar tetap disitu. Tangannya mulai ia lepas dari lubang vaginanya, dan kemudian ia angkat lagi pantatnya dengan bantuan kedua telapak tangannya yang membukakan lubang vaginanya.
“Uh, ayo colok Tante Bayu, pake penis..”, erang Tanteku manja.
“Oughh..”, enggak tahan aku dengan gelinya kepala penisku waktu mulai bergesekkan dengan bibir kemaluannya.
“Ayo yang, colok yang dalem, gatel..”, seringainya sambil menekan
pantatnya ke belakang. Dan waktu penisku memasuki vaginanya sepenuhnya,
kami berdua kesetanan dan mulai berpacu mengejar puncak kenikmatan.
“Oooh, Bayu..enak, oh, kontol kamu enak bangeet siih”, menggeram Tanteku dengan tubuh yang terhentak-hentak.
“Pengen pipis di dalem, oohh.. Tante, aku enggak kuuat”. Lama
kelamaan berdiri membuatku berkeringat. Dengan tangan kiri memegang
tiang infus dan tangan kanan bersandar pada tembok, membuat pinggulku
dalam posisi bebas untuk menyodok kemaluannya sedalam mungkin. Kedua
tangan Tanteku mulai memegang wastafel, dan ia makin tak terkendali.
Tubuhnya yang terguncang-guncang, pantatnya binal menghentak-hentak dan
basah vaginanya membuatku lupa daratan.
“Ooh Tantee, buka vaginanya doong, pengen lihat”, kataku lirih dalam guncangan goyangannya. Ia
menarik satu tangannya ke belakang, dan membuka belahan pantatnya. Pemandangan yang makin membuatku mabuk terguncang guncang, dan ia makin seronok.
menarik satu tangannya ke belakang, dan membuka belahan pantatnya. Pemandangan yang makin membuatku mabuk terguncang guncang, dan ia makin seronok.
“Oh anjing kamu Bayu, ngentotiin Tantee kaya babi..oh, anjing ngentot!”, ceracau Tanteku enggak keruan. Aku enggak tahan lagi.
“Arrggh, Tante.. ooh, nikmaathh!!”, aku pun kelojotan di dalam
vaginanya, dengan sigap ia pegang erat pantatku dan mendorongnya makin
dalam sambil memutar mutarkan pantatnya. Nikmat, serasa terbang dan rasa
ngilu karena goyangan pantatnya enggak berhenti membuat mataku
berkunang kunang. Persetubuhan singkat itu membuat kondisi tubuhku
ngedrop, dan aku terjatuh, tidak ingat apa apa lagi. Hal terakhir yang
aku sadari adalah lepasnya jarum infus dari tanganku.
Terbangun di sore hari, Tanteku sedang duduk di kursi sambil membaca
majalah. Suster sedang memeriksa kondisiku, memastikan segalanya
baik-baik saja. Aku tiba-tiba sadar, dibalik selimutku, Tanteku belum
mengenakanku pakaian. Sebelum keluar dari ruangan, suster itu
mengernyitkan dahi sambil memandangi sebentar cetakan penisku yang
membayang di balik selimut. Mungkin ia bingung dengan apa yang terjadi,
akhirnya ia tersenyum, mencubit kecil penisku dari luar selimut dan
berlalu dari kamar. Tanteku memelukku dan berjanji tidak akan
mengizinkan aku menikmati tubuhnya lagi sambil berdiri. Hari itu adalah
hari yang paling aneh, namun sekaligus paling menyenangkan.
Aku tidak pernah berhenti berpikir tentang Tanteku sampai saat ini.
Setidaknya, tidak bisa melupakan hasratku yang terus menerus
menggangguku, yaitu hasrat seks pada wanita-wanita berumur. Dan sampai
sekarang, orientasi seksku yang terbesar adalah berhubungan dengan
wanita-wanita paruh baya.